Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepekaan Guru dalam Memahami Emosi dan Situasi yang Mempengaruhi Perilaku Siswa

Pernahkah bapak/ibu guru menghadapi murid kelas rendah seperti kelas 1-3 SD yang tiba-tiba ngambek tanpa sebab yang jelas, atau bisa menjadi mengamuk karena kesalahan temannya yang menurut orang dewasa hal itu tidak seberapa ? bahkan ada kalanya murid Bapak/Ibu membantingkan meja dan kursi atau apa pun yang ada di dekatnya karena hanya hal sepele misalnya kesenggol tidak sengaja oleh  temannya atau sekedar ucapan-ucapan candaan dari temannya yang terdengar seperti biasa saja tapi bisa jadi menyulut emosi ?

Anak sedang marah

Tentu saja untuk sebagian Bapak/Ibu guru hal itu dianggap bukan sebagai masalah besar, karena Bapak/Ibu beranggapan hal itu tidak akan berlangsung lama, namanya juga anak-anak emosinya masih meledak-ledak, mungkin mereka masih belum dapat mengontrol emosinya dengan baik. Mungkin ada sebagian dari Bapak/Ibu yang menormalisasi hal itu. Tapi bagaimana jika kejadiannya pada saat proses kegiatan belajar mengajar berlangsung, tidakkah hal itu akan mengganggu murid-murid yang lain, waktu pembelajaran menjadi tidak efektif karena Bapak/Ibu guru sibuk menenangkan anak yang tantrum di kelas.

Ada banyak kasus yang seperti ini, bahkan tidak hanya terjadi di kelas rendah tapi bisa juga terjadi di kelas tinggi, meski mungkin memang anak-anak di usia kelas tinggi sudah agak bisa mengendalikan emosinya.

Di balik setiap perilaku murid, selalu ada cerita. Anak yang tidak mau mengerjakan tugas, murid yang suka menyendiri, atau murid yang tampak marah sepanjang hari semua itu bukan sekadar "tingkah". Mereka menyimpan pesan yang ingin dimengerti, bukan dihakimi.

Sebagai guru, kita bukan hanya pengajar pelajaran, tetapi juga pembimbing emosi dan karakter. Untuk itu, kita perlu membekali diri dengan kemampuan memahami emosi murid serta mengenali situasi yang melatarbelakangi perilaku mereka. Tidak mudah memang, tapi sangat mungkin dilakukan dengan hati yang terbuka dan kemauan untuk terus belajar. Berikut dibahas apa yang dimaksud dengan emosi menurut para ahli.

A. Pengertian Emosi Menurut Para Ahli

1. Paul Ekman

“Emosi adalah reaksi biologis cepat terhadap peristiwa-peristiwa yang memiliki nilai penting bagi individu.”

Ekman juga menjelaskan bahwa ada emosi dasar (basic emotions) yang bersifat universal: senang, sedih, marah, takut, terkejut, dan jijik.

Implikasi: Emosi adalah sesuatu yang alami dan muncul secara refleks, termasuk pada anak-anak.

2. Daniel Goleman

“Emosi adalah respons terhadap peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan kebutuhan atau nilai pribadi, dan biasanya berlangsung dalam waktu singkat.”

Goleman menekankan pentingnya kecerdasan emosional (emotional intelligence), yaitu kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi sendiri maupun orang lain.

Implikasi: Anak perlu belajar keterampilan emosional, bukan hanya kognitif.

3. Robert Plutchik

“Emosi adalah pola kompleks yang melibatkan tiga komponen: pengalaman subjektif, reaksi fisiologis, dan perilaku ekspresif.”

Plutchik menciptakan “roda emosi” (wheel of emotions) yang menggambarkan delapan emosi dasar dan turunannya seperti antisipasi, percaya, dan kaget.

Implikasi: Emosi berlapis dan bisa bercampur, misalnya anak bisa merasa kecewa sekaligus marah.

4. William James & Carl Lange (Teori James-Lange)

Emosi adalah hasil dari persepsi terhadap perubahan fisiologis tubuh.

Contoh: Kita merasa takut karena kita menyadari tubuh kita gemetar atau jantung berdebar.

Implikasi: Perubahan tubuh (seperti detak jantung, napas cepat) adalah bagian dari emosi, bukan akibatnya.

5. Lazarus (Teori Kognitif Emosi)

“Emosi timbul dari cara kita menilai (appraisal) situasi tertentu. Penilaian inilah yang menentukan jenis emosi yang muncul.”

Misalnya, anak bisa merasa marah jika ia menilai suatu perlakuan tidak adil.

Implikasi: Guru bisa membantu anak menafsirkan situasi secara lebih positif agar tidak muncul emosi negatif berlebihan.

B. Upaya-upaya Guru dalam Memahami Emosi Anak

1. Memahami Perkembangan Emosi Anak

Setiap anak membawa "bekal emosional" yang berbeda ke sekolah. Guru yang baik memahami bahwa anak usia sekolah dasar, khususnya kelas rendah, masih dalam tahap belajar mengenali dan mengelola emosi. Baca juga : Guru adalah Orang Tua Kedua di Sekolah

  • Anak-anak belum bisa menyampaikan perasaannya secara verbal seperti orang dewasa.
  • Mereka seringkali menunjukkan emosi melalui perilaku, seperti membanting barang, menangis, atau menolak berbicara.
  • Penting bagi guru untuk tidak langsung menilai perilaku anak sebagai buruk, tapi menelusuri kemungkinan adanya emosi yang tidak bisa disampaikan dengan kata-kata.

Contoh: Seorang murid yang tampak diam dan tidak fokus belajar bisa jadi sedang gelisah karena orang tuanya bertengkar di rumah semalam.

2. Empati: Kunci Membuka Hati Murid

Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain. Bagi seorang guru, empati bukan pilihan, tetapi kebutuhan.

Dengan empati, guru mampu:

  • Melihat sisi manusiawi di balik perilaku murid.
  • Tidak cepat menghakimi, melainkan mencoba mengerti “mengapa anak ini bersikap demikian?”
  • Membangun kepercayaan dengan murid sehingga mereka merasa aman untuk berbagi.

Empati bukan berarti membenarkan semua tindakan anak, tetapi memahami bahwa setiap reaksi selalu punya alasan. Saat guru menunjukkan empati, anak akan lebih mudah terbuka dan percaya.

3. Memahami Faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku anak dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Guru yang peka akan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Faktor Internal:

  • Keadaan emosi: takut, malu, kecewa, frustasi.
  • Kondisi kesehatan: lelah, lapar, kurang tidur, sakit.
  • Gangguan belajar atau kebutuhan khusus yang belum teridentifikasi.

b. Faktor Eksternal:

  • Situasi keluarga: perceraian, kemiskinan, konflik di rumah.
  • Hubungan sosial: dibully, tidak punya teman dekat.
  • Lingkungan sekolah: tidak nyaman, terlalu menekan, kurang apresiasi.

Catatan penting: Satu perilaku bisa memiliki banyak penyebab. Guru perlu berhati-hati dalam menyimpulkan dan lebih baik berdiskusi dengan murid dan orang tua secara terbuka. 

 4. Keterampilan Observasi dan Mendengar Aktif                                                               

Sering kali, anak-anak tidak menyampaikan keluhannya secara langsung. Guru perlu menjadi pengamat yang jeli dan pendengar yang aktif.

Keterampilan observasi:

  • Amati perubahan perilaku: anak yang biasanya ceria menjadi pendiam, atau sebaliknya.
  • Perhatikan bahasa tubuh dan ekspresi wajah.
  • Catat pola perilaku yang muncul berulang-ulang di situasi tertentu.

Mendengar aktif:

  • Mendengarkan tanpa menyela.
  • Memberi respon yang menunjukkan perhatian (“Ibu dengar kamu merasa kesal hari ini, boleh cerita kenapa?”).
  • Menyediakan waktu untuk berbicara secara pribadi.

Tips: Sediakan “sesi ngobrol santai” atau pojok refleksi di kelas untuk memberi ruang murid menyampaikan isi hati.

5. Refleksi Diri Guru: Jangan Langsung Reaktif

Guru juga manusia. Kita bisa lelah, emosi, dan terburu-buru. Namun, guru yang reflektif akan belajar untuk tidak langsung reaktif terhadap perilaku anak.

Pertanyaan reflektif yang bisa ditanyakan guru pada diri sendiri:

  • Apakah aku sedang membawa emosi dari rumah ke kelas?
  • Apakah aku sudah cukup mengenal anak ini sebelum menegurnya?
  • Apakah ada pendekatan lain yang lebih membangun daripada langsung memarahi?

Dengan melatih kesadaran diri (self-awareness), guru menjadi lebih sabar dan mampu merespons secara bijaksana, bukan sekadar bereaksi cepat.

6. Pendekatan Positif terhadap Perilaku

Daripada menghukum, guru perlu fokus pada pembentukan perilaku positif. Gunakan strategi intervensi yang membangun, seperti:

  • Memberi pujian spesifik atas usaha anak (“Ibu senang kamu berani mencoba menjawab meski masih ragu.”).
  • Mengajak diskusi ketika anak melakukan kesalahan (“Kira-kira apa yang bisa kamu lakukan lain kali agar tidak menyakiti teman?”).
  • Menggunakan konsekuensi alami atau logis, bukan hukuman yang mempermalukan.

Tujuan utama: Membantu anak belajar dari kesalahan, bukan membuat mereka takut melakukan kesalahan.

7. Kolaborasi dengan Orang Tua dan Pihak Lain

Guru tidak bisa berjalan sendiri. Untuk memahami murid secara utuh, diperlukan kerja sama dengan orang tua dan tim sekolah.

Kolaborasi ini bisa berbentuk:

  • Konsultasi informal saat penjemputan atau melalui WA.
  • Undangan diskusi jika ada perubahan perilaku signifikan.
  • Keterlibatan wali kelas, guru BK, atau kepala sekolah jika diperlukan.

Tips: Gunakan pendekatan positif saat berbicara dengan orang tua, fokus pada solusi dan bukan sekadar menyampaikan masalah.

Menjadi Guru yang Melihat dengan Hati

Memahami emosi dan perilaku murid bukan perkara instan. Dibutuhkan waktu, kesabaran, dan kesadaran terus-menerus. Tapi hasilnya sepadan. Ketika seorang guru berhasil melihat anak sebagai manusia utuh, bukan sekadar murid yang harus patuh, maka tumbuhlah ruang belajar yang penuh empati. Dan di sanalah perubahan besar dimulai—dari hati ke hati.

 

Posting Komentar untuk "Kepekaan Guru dalam Memahami Emosi dan Situasi yang Mempengaruhi Perilaku Siswa"